Selasa, 16 Maret 2010

Hartono Tanu Widjaja ,SH ,--Selektif Memilih Kasus



Selektif Memilih Kasus

Setiap lawyer diberikan pedoman untuk tidak menolak memberikan jasa bantuan hukum. Bahkan ada aturan yang mewajibkan lawyer memberikan bantuan hukum cuma-cuma yang disebut probono.

Namun, lelaki yang memiliki izin advokat pada 1995 ini mengacu pada hak yang dimiliki setiap individu, yakni memilih kasus-kasus yang akan ditangani. “Saya selektif memilik kasus. Jadi bukan soal menolak atau menerima,” katanya.

Apalagi prinsip yang dipegangnya bukan semata-mata perkara uang, tapi kebenaran, sejalan dengan keyakinannya bila memegang kebenaran alhasil uang datang sendiri. Sebaliknya kalau uang dipegang, tanpa kebenaran, bisa-bisa uang habis bahkan bisa hancur.

yang diyakininya, orang yang salah pun punya kebenaran. Karena orang bersalah belum tentu 100 persen kesalahan berada dipundaknya. Karena satu peristiwa terkait sebab akibat. Mungkin 10 persen sampai 90 persen atau mungkin dia berada di tempat dan waktu yang salah.

Inilah perlunya keyakinan kebenarannya pada saat seleksi menerima klien. Yang sulit adalah pada saat menyeleksi kebenaran yaitu wajib memberikan opini pada calon klien. “Apakah kita mampu jujur pada mereka saat kalah bilang kalah, menang bilang menang atau dibuat abu-abu,” katanya.

Obsesi Menghidupkan Penggabungan Hukum Adat dan Hukum Nasional

Selama menjalani pekerjaannya, ada sesuatu yang menjadi kebanggaannya yakni menangani kasus dari ujung timur ke ujung barat. Dari Papua sampai Aceh.

Pendeknya, seantero negeri pernah disinggahinya dalam rangka advokasi. Biasanya perkara yang ditangani adalah sengketa warga melawan pemerintah setempat.

Menariknya, usai memenangi kasus yang ditangani, ia kerap mendapat penghargaan dari warga melalui sesepuh. Sebuah gelar kehormatan yang disematkan padanya. “Makanya, saya banyak mendapat gelar adat dari beberapa daerah,” katanya.

Selain itu, pengalaman unik juga pernah dialami. Di daerah tertentu, terkadang manusia bisa kalah dengan binatang. Misalnya disalah satu daerah di Papua—babi bisa didahulukan saat menumpang naik pesawat ketimbang manusia. “Karena babi-nya untuk kepala suku yang mengadakan pesta adat,” kenangnya.

Terlepas dari semuan, sebagai orang yang memiliki idealisme untuk mempertahankan kebenaran, Hartono punya keinginan yang belum tercapai. Dari pengalamannya menangani beragam kasus di seantero negeri, ia mendapati fakta unik.

Menurutnya hukum nasional itu muncul dan terbentuk apa yang dikenal sebagai hukum adat dimana hukum tersebut berkolaborasi dengan hukum agama dan etika nilai.

Uniknya kolaborasi itu ada titik-titik persamaan yang baik. Persoalannya adalah dalam implementasi penegakkan hukum ternyata berbeda.

Contohnya di wilayah timur. Di sana saat orang melakukan pencurian, sanksi-nya tidak seperti di kota besar yakni pidana. Atau membunuh tidak dihukum mati atau dipidana sekian lama tapi sanksi adat. Alasannya sederhana. Karena mereka yakin tidak ada seorang pun yang mengajarkan mengambil milik orang lain.

Inilah satu cita-cita yang akan berusaha digapainya yaitu menghidupkan kembali titik taut antara hukum nasional dengan hukum adat dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika.

Contohnya di Papua yang memiliki 321 suku yang mempunyai hukum adat berbeda. Keinginannya adalah mampu melakukan kodifikasi hukum di Papua sehingga sangat membantu upaya-upaya penegakkan hukum di tingkat nasional atau daerah.

Kenapa? Karena prinsipnya, tidak harus memaksakan diri membentuk kejaksaan atau pengadilan atau Lapas di tiap daerah karena tipikalnya tidak begitu. “Maka hidupkan kembali nilai hukum-hukum adat dengan membuat kodifikasi hukum adat,” katanya.

Tujuannya adalah bagaimana menyikapi situasi globalisasi dengan masuknya nilai-nilai baru termasuk nilai-nilai asing. “Yang bisa memperkuat adalah hukum adat itu,” jelasnya.

Ini adalah sesuatu yang penting karena merupakan bagian kontribusi hukum nasional. Karena tidak mungkin kita mengadopsi satu hukum modern hanya berdasarkan copy paste atau ratifikasi dari hukum-hukum asing. “ Jelas bertolak belakang,” ungkapnya.

Contohnya, di Manokwari yang terkenal kota gereja tapi korupsi tetap ada. Di Aceh, kota serambi Mekah, orang korupsi tetap ada, mabuk-mabukkan, berzinah tetap ada. Di Mataram kota seribu majid, bukan berarti tidak ada korupsi.

Inilah yang menjadi tantangan yang menjadi tekadnya untuk menautkan dua hukum yang dinilainya saling berkaitan. “Saya akan berupaya keras mewujudkannya,” ujar Hartono yang memiliki hasrat menciptakan petuah bijak yang dikenang sepanjang masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar