Kamis, 18 Maret 2010

Dirjen Migas: 'Cost Recovery' 2010 Dinaikkan


Dirjen Migas: 'Cost Recovery' 2010 Dinaikkan

Kementerian ESDM tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) cost recovery yang rencananya bakal lebih tinggi dari cost recovery 2009.
"Angkanya sedikit lebih tinggi dari dana cost recovery dalam APBN-P 2009,” kata Direktur Jenderal Migas Evita H legowo di Jakarta, Senin (28/12).
Menurut Evita, besaran cost recovery sangat bergantung pada berapa banyak proyek eksplorasi migas 2010. Makanya, saat ini semua KKKS harus segera melaporkan rencana kerja di 2010.
Evita mengakui bahwa bagi investor sendiri mereka lebih menginginkan adanya kepastian hukum. "Jika ada kepastian hukum, mereka merasa lebih nyaman," kata dia. Selama ini RPP cost recovery kata Evita hanya diatur dalam kontrak kerja PSC (Product Sharing Contract) dan Peraturan Menteri.
Padahal untuk industri migas sebenarnya cost recovery itu investasi. Sehingga untuk 2010 Kementerian ESDM akan usahakan agar peraturan soal cost recovery tidak membebankan investor.
Sementara terkait perkembangan pembahasannya, Evita mengungkapkan untuk penyelesaian RPP cost recovery ini baru akan dirapatkan lagi hari Rabu (30/12). Namun, sejauh ini kata Evita lebih dari 50% rancangannya sudah selesai. Masih ada beberapa hal yang belum cocok dengan pandangan dari Departemen Keuangan (Menkeu).
Untuk diketahui dalam APBN 2010, DPR bersama pemerintah sudah menetapkan besaran dana subsidi 2010 sebesar US$13, 10 miliar. Sementara cost recovery 2010 sebesar US$11,05 miliar


Dampak UU Lingkungan Hidup
Dirjen Migas: Separuh Target Migas Tidak Akan Tercapai!

Dirjen Migas Evita Legowo.
Produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional nampaknya terancam dengan adanya Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang akan mulai diberlakukan awal April 2010 nanti.

Menurut Dirjen Migas Evita Legowo seperti dilansir dari situs Kementerian ESDM, Kamis (25/2/2010), penerapan standar baku mutu lingkungan pada industri migas dikhawatirkan akan membuat target produksi migas nasional tidak tercapai. Produksi Migas pun diproyeksikan hanya akan tercapai setengah dari yang ditargetkan saja.

"Kalau standar baku mutu betul-betul diterapkan per April 2010 seperti apa adanya, hampir separuh target produksi migas nasional tidak dapat diproduksikan karena banyak industri migas dalam waktu dekat tidak dapat memenuhi standar baku mutu temperatur air dari 45 menjadi 40," ujar Evita.

Pasalnya, untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat.

Menurutnya, PT Chevron dan PT Pertamina sebagai penyumbang produksi migas nasional terbesar yang paling merasakan dampak pemberlakuan standar baku mutu lingkungan tersebut.

Evita juga mengatakan jika pihaknya sudah melaporkan hal tersebut kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup karena permasalahan ini harus diselesaikan segera agar tidak mengganggu produksi migas nasional yang berdampak pada penerimaan negara.

Dalam UU Nomor 32 tahun 2009 yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

Selanjutnya pada pasal 20 dinyatakan baku mutu lingkungan meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Dirjen Migas Tolak Impor Gas
- Direktur Jendral Minyak dan Gas, Evita Legowo mementahkan opsi impor migas untuk mengatasi defisit gas yang sebelumnya diajukan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh. "Impor itu nanti, kalau kita sudah punya floating receiving terminal," jelas Evita ketika ditemui setelah acara peresmian , hari ini.

Menurutnya, penolakan impor gas itu tidak akan dilakukan hingga akhir tahun 2011. Mengenai solusi jangka pendek yang diungkapkan dirinya beberapa waktu lalu, Evita belum mau memberi rincian dengan alasan masih dalam pembicaraan.

Mengenai defisit pasokan gas, ia membantah penyebab utamanya adalah Conocco Phillips atau menambah kuota ekspor. "Kalau Conocco Phillips (produksinya) ada yang naik ada yang turun," jelasnya.

Ia menyebutkan penyebab utamanya adalah beberapa sumur gas yang berkurang produksinya sehingga mengurangi pasokan gas sebesar 30 MMSCFD. "Sebenarnya kekurangan kita hanya 30 (MMSCFD) itu."

Evita juga menegaskan pemerintah tidak mungkin begitu saja memutus kontrak gas ke Singapura untuk memenuhi kebutuhan gas domestik. "Kita ingin tetap dihargai sebagai bangsa yang bisa dipegang," tegasnya. "Gasnya memang terbatas, jadi kita minta pengertian supaya semua pihak mendapat walau tidak full," jelasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar